Rabu, 29 Agustus 2007

KE(TIDAK)BERDAYAAN AMERIKA SERIKAT

Amerika Serikat terkenal sebagai sebuah negara adidaya dengan kekuatan ekonomi dan militernya serta hegemoni di berbagai kawasan di dunia. Tercatat dalam sejarah, negeri Paman Sam ini memiliki prestasi gemilang dalam politik internasional yaitu kemenangan pada Perang Pasifik dengan menaklukkan Jepang pada Perang Dunia II serta kemenangan blok liberal yang dipimpinnya atas blok komunis yang runtuh di tandai dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1989.

Pasca Perang Dingin Paman Sam menjadi satu-satunya kekuatan besar didunia sehingga saat itu sangat berpengaruh pada politik internasional. Meskipun tidak bertahan lama, model unipolar dengan berpusat kepada Amerika Serikat sempat mewarnai hubungan antar negara. Model tersebut akhirnya bergeser kearah multi polar terutama setelah bangkitnya negara-negara Eropa Barat dengan membentuk Uni Eropa.

Memang sudah menjadi fakta bahwa saat ini Amerika Serikat memiliki kekuatan militer terkuat didunia. Dengan beberapa pangkalan militer yang tersebar di berbagai kawasan di dunia. Namun dengan alasan kepentingan dan keamanan nasional dan internasional, Amerika Serikat seringkali mengeluarkan arogansinya dalam konstelasi politik internasional. Wujud arogansi ini terpola dalam dua hal yaitu kebijakan dua muka di Timur tengah dan pemaksaan dengan label terorisme. Konflik di Timur Tengah dan Perang Teluk II menjadi buktinya.

Sebenarnya sebegitu berdayakah negeri Rambo ini? Melihat ketidakberdayaan Amerika Serikat tidak hanya kita lihat dari sudut pandang ekonomi ketika saat ini Amerika Serikat sedang mengalami permasalahan ekonomi dengan tumbuhnya Uni Eropa yang berarti mengurangi pasar Amerika Serikat di Eropa. Disisi lain pendudukan tentara Amerika Serikat di Irak yang berjalan hampir lima tahun ini saat ini telah memunculkan frustasi Bush dan juga bangsa Amerika Serikat sendiri karena kondisi politik yang tidak menentu dan banyaknya tentara Amerika Serikat yang tewas justru pasca Perang Teluk II. Dalam kasus penyerangan Israel ke Libanon tahun lalu pada dasarnya juga merupakan bukti ketidakberdayaan Amerika Serikat. Tidak berdaya kepada siapa? Jawabannya adalah tidak berdaya kepada sekutunya sendiri.

Lalu dimana letak ketidakberdayaan Amerika Serikat? Ketidak berdayaannya terletak pada ketidak tegasan dan keengganan Amerika Serikat untuk memperingatkan Israel agar lebih mengutamakan jalan damai. Padahal seperti yang kita ketahui bahwa dalam kebijakan luar negerinya, Amerika Serikat seringkali berakting seperti polisi dunia yang menjaga ketertiban. Disisi lain, Amerika Serikat yang seringkali menggunakan “demokrasi” sebagai slogan kebijakannya dalam dunia internasional, ternyata bertindak tidak demokratis dengan mengeluarkan veto padahal sebagian besar anggota mengeluarkan kecaman terhadap agresi Israel.

Standar ganda itulah yang sering dilabelkan pada kebijakan Amerika Serikat di Timur Tengah terutama berkaitan dengan permasalahan Palestina-Israel. Mari kita coba untuk berfikir terbalik bahwa standar ganda tersebut bukan diartikan betapa kuatnya Amerika Serikat sehingga mampu melakukan kebijakan yang bertolak belakang secara bersamaan, namun kita melihat hal tersebut sebagi sebuah ketidak berdayaan. Amerika Serikat yang merupakan negara besar dunia ternyata begitu tidak berdaya dengan sebuah negara kecil di Timur Tengah. Tentu saja hal ini ada sebabnya, yaitu begitu kuatnya lobi politik kelompok pendukung Israel di pemerintah Amerika Serikat, sehingga kebijakan politik luar negerinya juga dapat diarahkan kepada kepentingan Israel juga. Selain itu Israel merupakan kunci emas Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah untuk menjaga kepentingannya dikawasan kaya minyak ini. Begitu pentingnya arti Israel bagi Amerika Serikat membuat orang berfikir bahwa sebegitu kuatkan independensi Amerika Serikat? Ternyata negara Adikuasa ini juga takluk di tangan pengaruh kepentingan Israel yang notabenenya tidak jauh lebih besar daripada Perancis, Jerman atau negara besar yang lain.

Sebenarnya, seberapa kuatkah pengaruh Israel dalam perumusan kebijakan Amerika Serikat? Pengaruh Israel terutama berada pada lobi politik oleh kalangan pengusaha dan politisi Israel yang berpengaruh di parlemen dan pemerintah Amerika Serikat. Selain itu secara ekonomi, Israel menjadi salah satu pintu gerbang kepentingan ekonomi Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah. Sebegitu kuatnya pengaruh ini sampai-sampai Amerika Serikat mengorbankan identitasnya sebagai negara panutan demokrasi demi kepentingan sekutunya.

Fenomena seperti ini juga didukung dengan kondisi Amerika Serikat yang saat ini mengalami permasalahan terutama pada persaingan dengan Jepang dan Cina dalam bidang ekonomi serta semakin membengkaknya tanggungan yang harus dikeluarkan oleh Amerika Serikat untuk membiayai operasi terorismenya. Kesulitan ini dimanfaatkan oleh sekutunya sehingga semakin lama Amerika Serikat menjadi semakin tidak independen dan tergantung dengan sekutu-sekutunya. Merujuk pada pandangan kaum realis seperti yang dikemukakan oleh Hans J Morgenthou dalam Politics Among Nations, bahwa sebuah kebijakan yang diambil oleh sebuah negara merupakan keputusan yang rasional. Rasional juga kita melihat ketidakberdayaan Amerika Serikat dalam memandang kasus dukungan Amerika Serikat kepada Israel karena Amerika Serikat begitu tergantung dengan Israel. Sehingga jika Amerika Serikat ingin kepentingannya aman maka ia harus berkompromi dengan Israel. Sekali lagi mengutip realisme tokoh hubungan internasional, Morgenthou, bahwa yang menjadi pertimbangan utama kebijakan luar negeri suatu negara adalah kepentingan nasional maka ketidakberdayaan Amerika Serikat dengan memberi veto atas peringatan PBB kepada Israel pada agresinya ke Libanon tahun lalu menjadi wajar demi kepentingan nasionalnya.

Oleh karena itu bukan tidak mungkin jika Amerika Serikat sebagai negara besar dunia akan menjadi sejarah masa lalu, karena dalam perkembangan kebijakan luar negerinya lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan negara sekutunya, dan mengingkari sendiri janji demokrasi yang selama ini dijadikan sebagai simbol dan kekuatan politik luar negerinya.


Tidak ada komentar: