Rabu, 29 Agustus 2007

NUKLIR KORUT DAN KONSTRUKTIVISME AS

Isu politik dan keamanan di kawasan Asia Timur Laut kembali menjadi sorotan dunia internasional setelah Korea Utara menggelar aksi uji coba rudalnya yang mencapai perairan Laut Jepang. Aksi ini diikuti dengan berbagai kecaman terutama dari Amerika Serikat dan Jepang,

Kekuatan nuklir Korut menjadi momok bagi kebijakan luar negeri AS di kawasan Asia Timur. Namun berbeda dengan kebijakan AS terhadap isu yang sama seperti kepada Irak dan Iran, kebijakan AS terhadap Korut cenderung lebih lunak. AS belum berkeinginan untuk menggunakan kekuatan senjata dalam menghancurkan pengembangan nuklir di Korut. Padahal disekitar kawasan ini terdapat negara-negara partner AS yang berada di bawah payung keamanan AS seperti Jepang dan Korsel.

Kebijakan AS terhadap Korut pada dasarnya di bentuk dengan konstruksi pemikiran yang mana dalam perspektif konstruktivisme dapat dicapai dengan pelabelan atas negara tersebut. Proses pelabelan ini pernah dilakukan oleh AS dalam Perang Dingin melawan Uni Soviet dalam kasus Teluk Babi di Kuba. Pada kasus ini AS mencoba untuk melabeli Kuba sebagai sebuah negara yang memiliki ancaman besar bagi keamanan AS dengan bekerjasama dengan US yang berencana meletakkan misil disana. Hal ini sangat ironi jika melihat kondisi fisik Kuba sebagai sebuah negara kecil yang mana AS mungkin dapat menyerangnya dengan mudah.

Kasus yang sama kembali terulang dalam Perang Teluk II dimana AS melabeli Irak sebagai sebuah negara yang sangat berbahaya bagi keamanan dunia dengan program senjata pemusnah masalnya.

Namun, dalam kasus Korut nampaknya AS tidak sebersemangat seperti dua kasus diatas. Proses konstruktivisme juga dibangun dengan melabeli Korut sebagai negara yang “berbahaya” terutama bagi kestabilan politik dan keamanan Asia. Selanjutnya muncul pertanyaan mengapa kebijakan AS tidak diikuti dengan dengan tindakan nyata seperti di Kuba dan Irak? Terdapat dua pemikiran jawaban atas pertanyaan ini.

Pertama, kemungkinan Korut bukan merupakan ancaman serius dan kedua, disekitar Korut terdapat beberapa kekuatan besar seperti Rusia dan Cina sehingga AS harus lebih berhati-hati. Pada alasan pertama nampaknya kurang begitu kuat karena dalam kenyataannya Korut memang memiliki persenjataan nuklir yang ditunjukkan dengan beberapa kali percobaan senjata. Bahkan pemerintah Pyongyang mengklaim memiliki senjata jarak jauh (inter-continental Balistic Missile) yang mampu mencapai beberapa kota besar di AS. Memang secara ekonomi mungkin Korut masih sangat sulit dalam pembiayaan pengembangan persenjataan nuklirnya, namun kenyataan sebenarnya membuktikan bahwa Korut memang benar-benar memiliki persenjataan tersebut.

Alasan kedua nampaknya lebih kuat yaitu dengan adanya dua kekuatan politik dunia disekitar Korut yaitu Rusia dan Cina. Kebijakan AS untuk melakukan tindakan terhadap Korut tentu saja mempertimbangkan kedua negara ini, karena secara bawah tanah, kedua negara ini memiliki beberapa ketidaksepakatan dengan AS. Cina bermasalah dengan AS dalam kasus Taiwan dan embargo senjata, sedangkan bekas persaingan selama Perang Dingin masih membekas dengan Rusia. Dalam kasus terakhir, AS dan Rusia berseberangan dalam masalah pengembangan nuklir Iran. Fakta pendukung yang lain adalah faktor Jepang dan Korsel. Keduanya merupakan negara yang tanggung jawab keamanannya berada dalam payung AS. Jepang memiliki peran penting bagi AS terurama dalam bidang ekonomi mengingat nilai perdagangan Jepang yang tinggi kepada AS. Sedangkan Korsel memiliki arti penting dalam mengawasi perkembangan Korut karena AS memiliki pangkalan militer di Korsel yang berarti merupakan basis militer terdekat dengan Korut. Kedua negara ini juga menjadi basis ekonomi AS setelah terbendung blok ekonomi Uni Eropa.

Alasan kedua inilah yang sebenarnya sangat mempengaruhi kebijakan AS terhadap Korut. Pendekatan persuasif lebih diutamakan oleh AS dengan membentuk forum bersama Cina, Jepang dan Rusia dalam membahas permasalahan Korut. AS mencoba untuk memberikan kebijakan luar negerinya pada Korut sebatas pada pengkonstruksian pemikiran dunia bahwa Korut merupakan sebuah ancaman bagi keamanan dunia dengan pengembangan nuklirnya. Namun untuk melangkah lebih jauh, nampaknya AS masih menunggu dan berusaha berada pada titik aman karena adanya beberapa kekuatan besar disekitarnya dan kepentingan AS yang besar di Jepang dan Korsel. Salah kebijakan dapat berakibat fatal dan menjadi bumerang bagi AS sendiri.

Dari beberapa hal diatas kita dapat melihat bahwa pada dasarnya Korut memiliki dua kekuatan yang menjadi pertimbangan kebijakan luar negeri AS yaitu bahwa Korut memang benar-benar memiliki persenjataan nuklir sehingga tindakan militer dapat memungkinkan terjadinya perang nuklir, tidak seperti Irak yang sampai sekarang belum terbukti kepemilikan senjata pemusnah massalnya dan kedua adalah posisi strategis Korut diantara dua kekuatan besar dunia yang masih “bermasalah” dengan AS serta negara partner yang memainkan peran kepentingan AS.

Konstruktivis kebijakan luar negeri AS terhadap Korut dilakukan dalam upayanya membentuk opini internasional tentang posisi Korut. Namun nampaknya kekuatan hegemoni dan pengaruh (soft power) AS sudah mulai menurun dengan tidak banyaknya negara yang menanggapi opini ini. Mungkin benar yang dikatakan oleh Huttington tentang declining theory yaitu tentang penurunan kekuatan kebijakan luar negeri AS.


Tidak ada komentar: